Sunday, December 11, 2011

Meretas Jalan Cahaya (1)

Untuk para pejuang dakwah,
Siapkah menjadi pemenang, wahai pejuang?
Yang perlu kita pahami, Islam tetap akan menang dengan atau tanpa kita. Tapi, apakah kita akan melalaikan kewajiban kita untuk menyeru pada kebaikan dan melarang kemunkaran? Apakah kita hanya akan berdiam diri saja tanpa ingin menjadi sesosok manusia yang bernilai lebih di hadapan-Nya?

Pertanyaan di atas sangat menusuk hatiku, kawan. Dan pada akhirnya aku pun menyadari bahwa perlu disyukuri jika sampai sekarang masih berada di jalan dakwah, menyeru untuk kembali pada ketauhidan dan penghambaan hanya kepada Allah, serta senantiasa menebar kebaikan.
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah bekal-bekal apa yang diperlukan oleh para pejuang dakwah? Nih, ada untaian kalimat-kalimat yang layak untuk dibaca. Kuambil dari selembar kertas. Let's check this out.

Kita sedang berada dalam kereta dakwah yang sedang melaju. Seperti halnya orang yang melakukan perjalanan, kita pun butuh bekal agar kita selamat. Apa bekal para pejuang dakwah? Karena apa yang kita seru adalah nilai-nilai Ilahiah maka bekal pertama dan utama yang harus kita siapkan adalah bekal Ilahiah. Bekal ruhiyah. Karena inilah bekal utama agar kita selamat di akhir perjalanan ini yaitu jannah-Nya.
Bagaimana kedekatan kita dengan Sang Pemilik alam semesta akan menentukan kedekatan kita dengan ciptaan-nya. Makanya mudah saja untuk mengetahui kondisi ruhiyah seseorang. Salah satunya adalah bagaimana hubungan seseorang sengan saudaranya yang lain. Semakin seseorang tidak disukai oleh orang lain menunjukkan semakin jauhnya ia dari Allah, penciptanya.
Kondisi ruhiyah ini erat kaitannya dengan keimanan. Kondisi ruhiyah dan keimanan seseorang bisa naik turun. Kemudian bagaimana kita bisa memperbaiki keimanan kita? Apa yang bisa kita lakukan?
Menurut Ibnul Jauzi yang harus kita lakukan pertama kali adalah memperbanyak diam untuk melatih jiwa agar tidak banyak mengeluarkan komentar dan tidak mudah bergejolak sehingga lisan kita juga lebih banyak diam.
"Sesungguhnya lisan akan cenderung diam jika jiwa tidak bergejolak. Dalam diam itu, engkau akan lebih bisa meraba keburukan. Jika engkau sudah bisa merabanya, maka jiwa akan luluh dan hancur lalu menyadari bahwa dirimu berada di jalan yang berlawanan dari kehendak Allah SWT. Setelah itu, ingatkanlah jiwa dengan kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan satu persatu. Kenalilah apa akibat setiap kekeliruan itu sampai benar-benar disadari."
Kedua, lupakanlah ketaatan kita. "Jika engkau manyadari diri telah lalai dan melakukan dosa, jadikan dirimu bisa berlama-lama mengingat dosa itu, dan besar-besarkan ingatan tentang akibat dari kelalaian itu. Munculkanlah paham seolah-olah kita tidak melakukan ketaatan apa-apa kecuali kemaksiatan itu. Lupakanlah ketaatan yang pernah engkau lakukan. Sampai engkau yakin akan hancur apabila tidak sebera bertaubat. Sampai suara hati kita berteriak dan menangis."
"Tapi jika jiwamu tidak bangkit dan air mata tidak mengucur juga, sampaikanlah kepada hati dan jiwa bahwa engkau tetap harus melepas diri dari kemaksiatan itu. Dan langkah ini tidak akan terjadi kecuali jika engkau meninggalkan sebab kemaksiatan. Meninggalkan semua teman, semua benda yang menjadi sebab dan tangga maksiat. Beritakanlah pada jiwa bahwa engkau tidak akan bisa bertaubat dengan sah kecuali dengan meninggalkan semua itu."
Ketiga, lemahkanlah jiwa dengan rasa lapar. Ibnul Jauzi mengatakan, "Jika jiwamu masih belum bisa melakukan itu dan menolaknya, maka hancurkanlah kekerasan jiwa itu dengan memperbanyak puasa, hinakanlah ia dengan rasa lapar. Karena sesungguhnya jiwa jika mengalami sakit karena lapar, ia akan tunduk, mau mendengar dan cenderung pasrah untuk menerima apa saja."
Keempat, perangi sikap menunda-nunda. Tekad meninggalkan kemaksiatan sangat rentan dengan gangguan menunda-nunda dengan seribu alasan. Jiwa yang sudah dikosongkan dari kemaksiatan harus segera diisi dengan kebalikan apa yang ditinggalkan. "Ajarkan dia berdzikir untuk mengganti kelalaian dan kelupaan. Paksa dia untuk teliti dan berpikir daripada ceroboh dan terburu-buru. Beri dia kelezatan bermunajat kepada Allah, nikmatnya membaca kitab-Nya, serta mempelajari ilmu pengetahuan. Kinalkan dia dengan sirah orang-orang shalih dan bagaimana akhlak mereka. Lakukan itu untuk mengisi kekosongan karena telah meninggalkan suasana kebailan, lingkungan orang-orang yang merusak."
Jika ini mita lakukan, kelak cahaya ketaatan akan terus merasuki jiwa dan semakin bersinar-sinar mengusir kegelapan hawa nafsu. Kita akan menjadikan ketaatan sebagai tabiat dan hal yang biasa, sebagamana dulu kemaksiatan telah menjadi tabiat dan hal yang biasa bagi jiwa kita.
Tapi jangan anggap ini adalah akhir dari jalan perubahan kita. Karena seperti yang dinasihatkan Ibnul Jauzi, "Sesungguhnya mencapai puncak itu sulit tapi bertahan tetap di puncak itu lebih sulit".
Dan kita akan tetap bertahan untuk berada di sini bersama-sama. Menarik dan mengangkat diri kita bersama-sama hingga keadaan kita semakin tinggi. Lalu saling berpegangan tangan saat dihempas ujian dan fitnah agar kita tidak jatuh.

Yupz, itulah, kawan, bagaimana cara memperbaiki keimanan kita. Yang perlu diingat adalah nasihat Ibnul Jauzi, mencapai puncak itu sulit tapi bertahan untuk tetap berada di puncak itu jauh lebih sulit. Mempertahankan apa yang telah kita capai, dalam hal ini keimanan, itu sangatlah sulit. Istiqomah itu butuh banyak usaha kawan. Semoga kita, para pejuang dakwah, insyaAllah, tetap dikaruniai keistiqomahan.

Tetap semangat Para Pejuang, penegak risalah, pembuat perubahan menuju peradaban madani.
Salam cinta dan perjuangan. ^_^)

No comments:

Post a Comment

Silakan berkomentar,,, Ditunggu kritik dan sarannya,,^^